Jakarta, LiniPost – Pembahasan soal legal standing atau kedudukan hukum mencuat saat diskusi di Ruang Makan di Nyiur Resto, Minggu (7/2/2021) petang, menghangat.
Hal itu menyikapi kejadian ada sejumlah persoalan pada berbagai daerah yang melibatkan wartawan baik sebagai terlapor maupun pelapor di kepolisian. Padahal, wartawan tidak memiliki legal standing atas hal itu. Sebagai contoh bila terjadi sengketa pemberitaan bukan urusan wartawan.
Pada kesempatan itu, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Atal S Depari maupun Hendry Ch Bangun sepakat hal itu diatur Pasal 12 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Legal standing sengketa itu ada pada penanggung jawab.
Hendry mengungkapkan, Dewan Pers telah melakukan MoU dengan Kompolnas menyangkut penanganan sengketa pers.
Nantinya, diharapkan ada pelatihan dan sosialisasi terkait sengketa yang melibatkan pers agar paham legal standing atas kasus sengketa pemberitaan maupun sensor atau penghalangan saat kegiatan jurnalistik.
Pasal 18 ayat (2) dengan jelas mengatakan apabila ada pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 13 yang bertanggung jawab, adalah perusahaan pers, bukan wartawan.
Sebaliknya, bila ada pelanggaran terhadap Pasal 18 ayat (1) legal standing juga berada pada perusahaan pers yang diwakili oleh penanggung jawab perusahaan pers, sesuai Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU Pers.
Sementara, Kamsul Hasan, Ketua Komisi Kompetensi PWI Pusat menambahkan, UU Pers memang menganut sistem pertanggungjawaban korporasi bila melihat pidana pers pada Pasal 18 yang terdiri dari tiga ayat.
“Tidak ada satu ayat pun pada Pasal 18 yang mengarah ke wartawan atau organisasi profesi kewartawanan. Semuanya diwakili penanggung jawab perusahaan pers,” terang Kamsul Hasan
Perlindungan hukum terhadap wartawan yang tengah menjalankan profesi jurnalistik seperti diatur Pasal 8 dan penjelasannya tidak terkait pidana pers pada Pasal 18 UU Pers.
Bila wartawan ingin gunakan UU Pers maka harus didukung perusahaan pers tempatnya bekerja sesuai Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3). Perusahaan pers sesuai standar perusahaan pers yang diatur Dewan Pers harus mendukung.
Apakah organisasi profesi kewartawanan memiliki legal standing atas Pasal 18 ayat (1). Jawaban sudah barang tentu tidak. Silakan baca dengan cermat kaitan antara pasal itu.
Meski begitu, dia sangat mendukung bila organisasi profesi kewartawanan melakukan advokasi atau pendampingan bagi anggota yang yang berhadapan dengan hukum, tetapi bukan sebagai pelapor.
Wartawan sebagai warga negara bisa gunakan haknya sesuai Pasal 8 dan penjelasannya dengan gunakan hukum lain di luar UU Pers.
Begitu juga organisasi profesi dapat memiliki legal standing dan menjadi pelapor apabila materi hukum atau alat buktinya jelas menyerang kehormatan institusinya.
Pasal yang mungkin digunakan adalah 335 KUHP atau 351 dan 353 KUHP serta Pasal 170 KUHP. Penyerangan kehormatan dan atau pengancaman dengan gunakan media elektronik dapat gunakan UU ITE.
Topik lainnya yang dibahas terkait revenue sharing, bagi hasil pendapatan kotor Google dan atau perusahaan asing sejenisnya dengan perusahaan pers di Indonesia.
“Indonesia perlu membuat UU terkait pola bagi hasil seperti Google dengan perusahaan pers di Indonesia. Selama ini tidak jelas,” kata Ketum PWI, Atal S Depari.
Saat ini perusahaan pers di Indonesia sedang mempelajari hal serupa yang diberlakukan di Inggris, Perancis dan Australia. “Versi Indonesia disesuaikan dengan kondisi setempat,” tegas Atal.
Diskusi ini turut dihadiri sejumlah panitia dan pengurus PWI Jaya yang menjadi tuan rumah HPN 2021 di Jakarta. (Hartono)