Oleh: Paryan-APN Kemhan
Gerakan Reformasi 1998 di Indonesia telah mendorong terjadinya perubahan peran militer dalam politik, berupa reformasi internal Tentara Nasional Indonesia pada 1999 (reformasi TNI). Melalui reformasi ini terjadi proses penarikan diri institusi militer dari politik, dimana wujud paling nyatanya adalah penghapusan Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Reformasi TNI pada tahun 1999 itu menurut Agus Widjojo, telah menunjukkan bahwa TNI telah menanggalkan doktrin kekaryaan dengan tidak lagi menempatkan prajurit aktif TNI dalam jabatan sipil, (Agus Widjojo, 2015: xvi), sehingga militer harus kembali pada tugas utamanya, yaitu kekuatan pertahanan dan keamanan.
Disadari bahwa peran TNI di bidang pertahanan maupun di luar pertahanan dalam rangka tugas perbantuan dilakukan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Sesuai dengan UU Nomor 3 tahun 2004 terkait OMSP memberikan tanggung jawab untuk ikut partisipasi aktif dan kontribusi nyata TNI dalam pengabdian kepada bangsa dan negara dalam proses pembangunan nasional pada khususnya, serta kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.
Dalam OMSP peran TNI semata-mata panggilan moral dan fungsional TNI, dalam rangka menunaikan “tugas kemitraan” atau “tugas perbantuan TNI” kepada institusi atau lembaga lain, apabila diperlukan sesuai dengan kemampuan dan batas kemampuan TNI. Dalam kondisi damai OMSP dinilai sebagai bentuk penyaluran potensi yang dimiliki oleh militer untuk tujuan-tujuan strategis pertahanan didasarkan kebijakan politik.
Munculnya Tugas Perbantuan TNI adalah konsekuensi pemisahan TNI dan Polri sebagai salah satu agenda reformasi melalui Ketetapan MPR Nomor VI Tahun 2000 dan Ketetapan MPR Nomor VII Tahun 2000. Pemisahan merupakan bagian dari upaya demokratisasi yang diperlukan untuk menyelesaikan persoalan kerancuan dan tumpang tindih peran dan fungsi TNI dan Polri akibat penggabungan keduanya di masa Orde Baru. Oleh karena itu terkait pengerahan TNI menurut Letjen (Purn) Agus Wijoyo menyampaikan bahwa ada tiga cara, pertama, dalam fungsi organik konstitusional pertahanan nasional.
“Pertahanan nasional adalah menghadapi ancaman paksa dari luar,”. Kedua, merupakan sifat perbantuan TNI kepada otoritas sipil di masa damai, disebut perbantuan karena melakukan yang bukan tugas pokok TNI. Ketiga, sebagai konsekuensi perubahan status kedaruratan ketika terjadi pemerintah darurat militer, maka militer menjadi pemerintah.
Ketentuan yang dijadikan dasar keterlibatan TNI di luar pertahanan negara adalah operasi militer selain perang (OMSP) yaitu pertama, UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. OMSP dapat dilakukan untuk 14 hal, mulai dari mengatasi gerakan separatis bersenjata hingga membantu pemerintah dalam pengamanan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan. Di dalamnya juga termasuk OMSP untuk mengatasi aksi terorisme dan membantu tugas pemerintahan di daerah. Kedua, UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian. Dalam pasal 41 Undang-Undang ini menguraikan Polri dapat meminta bantuan TNI dan untuk lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).
Dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia, yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. (Maraden Panggabean, Divisi Pembinaan dan Hukum Mabes Polri), ketiga MoU TNI dan Kepolisian meneken sebuah perjanjian kerja sama (MoU) tentang “Perbantuan TNI Kepada Kepolisian dalam Rangka Memelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat.” Dalam aturan Nomor B/2/2018 dan Nomor Kerma/2/I/2018 yang ditandatangani oleh Kapolri, Tito Karnavian dan Panglima TNI Hadi Tjahjanto tertanggal 23 Januari 2018. MoU TNI dan Kepolisian meneken sebuah perjanjian kerja sama (MoU) tentang “Perbantuan TNI Kepada Kepolisian dalam Rangka Memelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat.”.
Dijelaskan bahwa lingkup kerja sama, selain menghadapi unjuk rasa dan mogok kerja, juga termasuk menghadapi kerusuhan, menangani konflik sosial, mengamankan kegiatan masyarakat dan atau pemerintah yang berpotensi rawan ricuh, dan situasi lainnya yang memerlukan bantuan sesuai dengan ketentuan yang ada.
Ada dua argumentasi kenapa adanya peran perbantuan TNI, pertama, bahwa pertahanan negara tidak dapat dilepaskan dari penyelenggaraan tugas bidang lain. Ancaman yang menjadi tugas utama TNI adalah ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa (Pasal 6 ayat (1) UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI). Gangguan keamanan yang dilakukan oleh kelompok bersenjata di dalam negeri adalah tanggung jawab Polri, namun gangguan keamanan itu pada tingkat eskalasi tinggi dapat berkembang menjadi ancaman bagi pertahanan negara.
Penanggulangan bencana alam adalah tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah, namun bencana besar yang mematikan adalah juga ancaman terhadap keselamatan bangsa. Kedua, TNI memiliki sumber daya personel dan peralatan yang memadai. Peralatan itu tentu bukan hanya peralatan perang, melainkan juga peralatan transportasi, peralatan berat, tenda darurat, dan peralatan penyediaan logistik. Sumber daya itu dapat digunakan di luar kepentingan pertahanan dan sangat dibutuhkan untuk membantu masyarakat pada waktu tertentu, yaitu pada saat menghadapi ancaman non militer misalnya bencana alam dan sebagainya.
Peran TNI di bidang pertahanan maupun di luar pertahanan dalam rangka tugas perbantuan dilakukan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Hal ini dimaksudkan guna menjaga peran TNI tetap selalu menjadi alat negara bukan alat kepentingan kekuasaan atau politik tertentu. Selain itu, adanya kebijakan dan keputusan politik negara juga untuk menjamin tidak mengganggu TNI sebagai tentara profesional yang siap sedia setiap saat dikerahkan dalam operasi perang. Untuk mengatur pengerahan TNI dalam OMSP, maka diperlukan UU Perbantuan TNI, karena bentuk formal kebijakan dan keputusan politik negara adalah UU.
Tugas perbantuan TNI tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan MoU yang dibuat oleh Panglima TNI dengan kementerian/lembaga. Panglima TNI adalah pelaksana kebijakan dan keputusan politik negara. Pembentuk kebijakan dan keputusan politik negara adalah lembaga negara yang mendapatkan mandat sesuai dengan mekanisme demokrasi, yaitu DPR dan Presiden yang bersama-sama memiliki kewenangan membentuk UU. Berdasarkan kerangka kebijakan di dalam UU, Presiden membuat keputusan politik negara. Oleh karena itu UU Perbantuan TNI ini adalah solusi ketidakjelasan domain kewenangan, komando, dan anggaran personil TNI yang diperbantukan Polri.
Menurut Peneliti LIPI Indria Samego, apabila TNI diperbantukan, sampai mana kewenangannya? Dia harus mengikuti perintah siapa? Dan anggaran dikeluarkan dari pihak yang meminta bantuan atau tetap dari TNI? Ini yang harus diperjelas karena masih gray area. Dalam penyusunan UU Perbantuan, maka menurut para ahli, terdapat lima (5) hal yang perlu diatur di dalam UU Perbantuan. Pertama adalah ruang lingkup tugas perbantuan yang dapat dilakukan oleh TNI. Klasifikasi pertama dan kedua OMSP menjadi acuan dalam menentukan ruang lingkup tugas perbantuan TNI.
Kedua adalah pengaturan mengenai bentuk dan peran perbantuan. Bentuk meliputi jenis dan besaran sumber daya yang dapat diperbantukan agar proporsional dengan kebutuhan dan tidak melemahkan profesionalisme TNI. Peran adalah tugas dan tanggungjawab TNI dalam perbantuan yang perlu dibatasi agar tidak eksesif. Tugas dan tanggungjawab dalam perbantuan tentu tidak boleh mengambil alih atau lebih besar dari tugas dan tanggung jawab kementerian/lembaga yang dibantu.
Ketiga adalah jangka waktu perbantuan. Pada prinsipnya tugas perbantuan memiliki jangka waktu tertentu, tidak boleh bersifat permanen agar tidak melahirkan ekspansi. Keempat adalah prosedur perbantuan, yaitu kriteria keadaan atau kegiatan yang dapat meminta bantuan TNI serta prosedur dan otoritas yang dapat mengajukan dan memberikan perbantuan. Hal ini diperlukan untuk memastikan pengerahan dan pergerakan sumber daya dan personel TNI ada di dalam kontrol komando TNI. Kelima adalah akuntabilitas baik pelaksanaan kegiatan maupun anggaran yang digunakan.
Kegiatan harus dipastikan diketahui oleh struktur komando dan masyarakat. Anggaran tugas perbantuan perlu diatur secara tegas aspek dan kegiatan apa yang dapat dibiayai oleh kementerian/lembaga (khususnya pemerintah daerah). Pengaturan anggaran tugas perbantuan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Pasal 66 UU TNI menyatakan bahwa TNI dibiayai dari APBN. UU Perbantuan diperlukan untuk memastikan TNI sebagai tentara milik rakyat yang tunduk pada kekuasaan politik yang melekat pada pemimpin negara yang dipilih oleh rakyat melalui mekanisme ketatanegaraan.
Dengan demikian peran TNI di bidang pertahanan maupun di luar pertahanan dalam rangka tugas perbantuan dilakukan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara, hal ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (3) UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI. Akhirnya mendorong pemerintah mengkaji ulang untuk mengusulkan UU Perbantuan TNI dalam mengatur peran TNI di luar pertahanan dalam rangka tugas perbantuan, dilakukan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara, hal ini demi menjaga jati diri TNI sebagai alat negara, sebagai tentara professional.